GULA MERAH RAFINASI

Jakarta, 21 Agustus 2010 (Business News)

Sumber

Selama bulan Ramadhan, pasar gula merah cetakan naik tajam. Masyarakat memerlukan gula merah sebagai pemanis kolak, biji salak, dan kue-kue tradisional. Mencari gula merah asli (palm sugar), sangat sulit. Sebab gula merah yang ada, berasal dari tebu, bahkan sebagian besar dari gula rafinasi yang diolah jadi gula merah.

Gula merah, gula jawa, brown sugar, palm sugar, berasal dari berbagai material. Di Indonesia, gula merah berasal dari kelapa, aren (enau), lontar (siwalan), nipah (rumbia), dan tebu. Selain diolah menjadi gupa pasir (gula putih), tebu juga merupakan bahan baku untuk gula merah. Teknik pengkristalan dan pemutihan gula (bleaching), baru ditemukan pada gula dari bahan bit di Eropa, pada abad XVIII. Hingga sebelum abad XVIII, semua produk gula, dari bahan apapun, selalu berwarna kecokelatan, dan tidak berbentuk kristal. Dari semua bahan gula, yang bisa dibudidayakan secara massal, cepat, dengan biaya murah adalah tebu. Tanaman ini asli India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sekarang tebu sudah dibudidayakan di semua kawasan tropis di dunia.

palm sugar
Palm sugar organik dari nira Aren

 Tebu diproses menjadi gula melalui tahap sebagai berikut Batang ditebang, digiling, diambil airnya, air dipanaskan, sambil dibuang kotorannya, diputihkan dengan berbagai bahan pemutih (antara lain dengan belerang), dan kemudian dikristalkan. Pengkristalan dengan suhu mendadak didinginkan, akan menghasilkan kristal kecil. Pengkristalan dengan menurunkan suhu secara lambat, akan menghasilkan gula batu yang berkristal sangat besar. Semuanya masih berwarna kecokelatan. Gula pasir yang berwarna kecokelatan inilah yang diimpor oleh pemerintah, dan disebut gula rafinasi. Sebutan ini tidak tepat, sebab istilah gula rafinasi, berarti gula putih (gula mentah, raw sugar, yang sudah dirafinasi). “Gula rafinasi lebih tepat disebut gula mentah, atau raw sugar.

Proses rafinasi raw sugar adalah, dengan mencuci (memurnikan), memutihkan, dan mengkristalkan kembali, hingga menjadi gula konsumsi. Hingga raw sugar sebenarnya tidak layak konsumsi. Maka pemerintah pun melarang raw sugar diperdagangkan sebagai gula pasir konsumsi. Larangan ini masih banyak dilanggar, termasuk pelanggaran dengan mengolah raw sugar menjadi gula merah. Selama ini yang dikenal sebagai gula merah di Indonesia adalah gula kelapa, aren, lontar dan tebu. Gula merah tebu yang berwarna gelap (cokelat kehitaman), paling banyak diserap oleh industri kecap. Sisanya masuk ke pasar konsumsi biasa. Masyarakat memerlukan gula merah biasanya untuk pemanis masakan, minuman, dan kue. Mereka tidak pernah peduli asal-usul gula merah tersebut.

Namun ada kecenderungan, orang memilih gula merah yang berwarna cerah. Maka para produsen gula pun mencampurkan gula pasir biasa (gula putih), ke dalam nira kelapa pada saat sedang dipanaskan. Belakangan yang dicampurkan bukan gula pasir putih, melainkan raw sugar. Selain untuk mencampur gula kelapa, raw sugar juga dibuat gula batu. Para produsen gula merah kemudian juga tahu, ternyata raw sugar murni bisa direbus, kemudian dicetak menjadi gula merah.

Pada saat perebusan akan terjadi oksidasi, hingga cairan gula menjadi kecokelatan. Agar energi untuk proses ini bisa murah, digunakan sesedikit mungkin air. Hasilnya adalah gula merah yang warnanya cerah dan sanpat menarik. Gula merah “rafinasi” ini/ah yang sekarang banyak dipasarkan sampai ke warung kakilima.

Gula kelapa, aren, terlebih lontar, sekarang menjadi komoditas dengan nilai sangat tinggi, dan langka. Sebab gula tersebut banyak diolah menjadi gula semut (brown sugar crystal, palm sugar). Sebagian produksi nira kelapa, aren, dan lontar, memang masih dicetak menjadi “gula merah tradisional” dengan berbagai bentuk, namun volumenya sangat kecil. Gula merah asli ini masih bisa dijumpai di sentra penghasil gula merah, jauh di pedalaman. Bahkan di lokasi yang sudah termasuk pedalaman pun, sudah dijual gula aren, berbahan baku tebu. Misalnya di kota Parakan, Kabupaten Temanggung Jateng, dijual gula merah yang dicetak dengan tempurung, dan dikemas dengan daun aren. Ternyata itu gula merah asal tebu dari Weleri, Kabupaten Kendal. Masih baik, sebab bahan bakunya masih “tebu asli*.

Rasa palm sugar (kelapa, aren, lontar, nipah), dengan sugar cane (tebu), memang jauh beda. Tingkat kemanisannya lebih manis gula tebu, namun untuk bahan kue, kolak, cendol, dan lain-lain tingkat kelezatan gula tebu kalah dibanding gula palem. Indonesia sebenarnya bisa menjadi produsen palm sugar terbesar di dunia. Selama ini palm sugar Indonesia, hanya memperoleh pesaing dari Srilanka, dan Filipina, namun volume produksi mereka juga masih rendah. Kurma pun sebenarnya juga bisa disadap untuk diambil niranya. Namun produksi gula merah dari kurma di Timur Tengah juga masih sangat kecil. Kelebihan Indonesia adalah, kita punya empat palma yang bisa menghasilkan palm sugar. Sementara negara tropis lain, termasuk Filipina, tidak punya palma penghasil gula selengkap, dan sebanyak Indonesia.

Kendala utama peningkatan produksi palm sugar adalah masalah pemanjatan untuk mengambil nira. Nira palma diambil (disadap) dari bunga. Kelapa, lontar, dan nipah, dari “manggarnya” (manggar = malai bunga palma), sementara aren disadap dari tangkai bunganya, sementara malainya justru dibuang. Untuk naik turun mengambil nira kelapa, aren dan lontar, diperlukan energi sangat tinggi, dengan risiko luar biasa besar.

Korban paling banyak menimpa para penyadap nira kelapa. Sementara aren dan lontar relatif aman, karena para penyadap memasang “sligi” (tangga tunggal dari bambu). Pemerintah daerah, seharusnya memperhatikan hal ini, antara lain dengan menggandeng para pecinta alam, untuk memberikan training penggunaan pengaman (harnet). (R)

 Salam,
— Evi Indrawanto
Arenga Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners